Makalah:
HUBUNGAN STRUKTURAL DAN FUNGSIONAL
PEMERINTAHAN PUSAT DAN DAERAH
MATA PELAJARAN PKn
KELAS X IPS2 PEMINATAN ILMU-ILMU SOSIAL
SMA NEGERI 1 BAHODOPI
2014
Segala puji kami panjatkan kepada Allah SWT. Tuhan
pencipta alam semesta yang menjadikan
bumi dan isinya dengan begitu sempurna. Tuhan yang menjadikan setiap apa yang ada dibumi sebagai penjelajahan bagi kaum yang
berfikir. Dan sungguh berkat limpahan rahmat-Nya kami dapat
menyelesaikan penyusunan makalah
ini demi memenuhi tugas mata pelajaran PKn Semester I Kelas X Peminatan Ilmu-Ilmu
Sosial.
Penyusunan
makalah ini dapat terselesaikan berkat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu kami mengucapakan banyak
terimakasih.
Saya menyadari bahwa dalam
makalah ini masih banyak terdapat kekurangan, sehingga dengan
segala kerendahan hati
kami mengharapakan saran
dan kritik yang bersifat membangun demi lebih baiknya kinerja
kami yang akan mendatang.
Semoga makalah ini dapat memberikan tambahan ilmu
pengetahuan dan informasi yang
bermanfaat bagi semua pihak.
Bahodopi, 01 Desember 2014
Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN
COVER .................................................................................... i
KATA PENGANTAR .................................................................................... ii
DAFTAR
ISI .................................................................................................. iii
BAB
I. PENDAHULUAN
A. LatarBelakang............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ...................................................................... 2
C. Tujuan dan Manfaat.................................................................... 2
BAB
II. PEMBAHASAN
A. Model-Model Hubungan Pusat Dan
Daerah ............................. 3
B. Hubungan Pusat-Daerah Bidang
Kelembagaan Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 8
C. Susunan Organisasi Perangkat
Daerah Propinsi ........................ 9
D. Susunan Organisasi Perangkat
Daerah Kabupaten/Kota ........... 10
E. Hubungan Pusat-Daerah Bidang Pengawasan Menurut UU No. 32 Tahun 2004 2
BAB
III. PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................ 15
B. Saran .......................................................................................... 16
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hubungan antara pemerintah pusat dan
daerah selalu menjadi sorotan menarik untuk ditelaah. Setelah berdirinya
Republik Indonesia dan dibentuknya pemerintahan pusat dan daerah, tak selalu
hubungan yang terjalin penuh keharmonisan. Ada kalanya terjadi beberapa
“perselisihan”. Baik sejak zaman orde lama, orde baru, bahkan pada era
reformasi ini.
Hubungan Pusat-Daerah dapat
diartikan sebagai hubungan kekuasaan pemerintah pusat dan daerah sebagai
konsekuensi dianutnya asas desentralisasi dalam pemerintahan negara. Denga
adanya kekuasaan yang terdesentralisasi, diharapkan semua stake holder yang
terlibat dapat bersinergi dan mendapatkan hak dan kewajiban sebagaimana
seharusnya. Secara umum hubungan antara pusat dan daerah dalam penyelenggaraan
pemerintahan adalah sebagai berikut:
1.
Pemerintah Pusat yang mengatur hubungan antara Pusat
dan Daerah yang dituangkan dalam peraturan perundangan yang bersifat mengikat
kedua belah pihak. Namun dalam pengaturan hubungan tersebut haruslah
memperhatikan aspirasi daerah sehingga tercipta sinerji antara kepentingan
pusat dan daerah
2.
Tanggung jawab akhir dari penyelenggaraan
urusan-urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah adalah menjadi
tanggung jawab pemerintah pusat karena dampak akhir dari penyelenggaraan urusan
tersebut akan menjadi tanggung jawab Negara
3.
Peran pusat dalam kerangka otonomi daerah akan banyak
bersifat menentukan kebijakan makro, melakukan supervisi, monitoring, evaluasi,
kontrol dan pemberdayaan sehingga daerah dapat menjalankan otonominya secara
optimal. Sedangkan peran daerah akan lebih banyak bersifat pelaksanaan otonomi
tersebut. Dalam melaksanakan otonominya, daerah berwenang membuat kebijakan
daerah. Kebijakan yang diambil daerah adalah dalam batas-batas otonomi yang
diserahkan kepadanya dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangan
yang lebih tinggi.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka
rumusan masalah dalam makalah ini yaitu; Bagaimanakah Hubungan Struktural dan
Fungsional Pemerintah Pusat dan Daerah ?
C. Tujuan dan Manfaat
a. Tujuan
Untuk mengetahui Hubungan Struktural dan
Fungsional Pemerintah Pusat dan Daerah.
b. Manfaat
1.
Sebagai sumber bacaan dan tambahan
bagi semua pihak yang ingin mengetahui Hubungan
Struktural dan Fungsional Pemerintahan Pusat dan Daerah.
2.
Sebagai bahan perbandingan dengan
makalah lain yang mengangkat masalah yang sama.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Model-Model Hubungan
Pusat – Daerah
Hubungan kedudukan pemerintah daerah
terhadap pusat menurut Dennis Kavanagh:
1.
Agency Model : pemerintah daerah dianggap
sebagai pelaksana belaka
2.
Partnership Model : pemerintah daerah memiliki
kebebasan untuk melakukan local choice
Sistem Hubungan Pusat dan Daerah
menurut Nimrod Raphaeli:
1.
Comprehensive Local Government System :
pemerintah pusat banyak sekali menyerahkan urusan dan wewenangnya kepada
pemerintah daerah. Pemerintah Daerah memiliki kekuasaan yang besar.
2.
Partnership System : beberapa urusan yang
jumlahnya cukup memadai diserahkan oleh pusat kepada daerah, wewenang lain
tetap di pusat.
3.
Dual System : imbangan kekuasaan pusat dan
daerah.
4.
Integrated Administrative System :
Pusat mengatur secara langsung daerah bersangkutan mengenai segala pelayanan
teknis melalui koordinatornya yang berada di daerah/wilayah.
Lingkup hubungan pusat dan daerah
antara lain meliputi hubungan kewenangan, kelembagaan, keuangan,
pelayanan publik , pembangunan dan pengawasan.
1. Bidang
Kewenangan
Dalam penyelenggaraan
desentralisasi terdapat dua elemen penting, yakni pembentukan daerah otonom dan
penyerahan kekuasaan secara hukum dari pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah untuk mengatur dan mengurus bagian-bagian tertentu urusan pemerintahan.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila penyelenggaraan desentralisasi
menuntut persebaran urusan pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah
otonom sebagai badan hukum publik. Urusan pemerintahan yang didistribusikan
hanyalah merupakan urusan pemerintahan yang menjadi kompetensi pemerintah dan
tidak mencakup urusan yang menjadi kompetensi lembaga negara tertinggi dan/atau
lembaga tinggi negara.
Secara
teoritis, persebaran urusan pemerintahan kepada daerah dapat dibedakan dalam 3
(tiga) ajaran rumah tangga berikut :
a.
Ajaran Formil
Di dalam ajaran rumah tangga formil
(formele huishoudingsleer), tidak ada perbedaan sifat urusan-urusan yang
diselenggarakan pemerintah pusat dan daerah otonom. Pada prinsipnya urusan yang
dapat dikerjakan oleh masyarakat hukum yang satu juga dapat dilakukan oleh
masyarakat yang lain. Bila dilakukan pembagian tugas, hal itu semata-mata
didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan yang rasional dan praktis. Artinya,
pembagian itu tidak karena materi yang diatur berbeda sifatnya, tetapi
semata-mata karena keyakinan bahwa kepentingan-kepentingan daerah itu dapat
lebih baik dan lebih berhasil diselenggarakan sendiri oleh setiap daerah
daripada oleh pemerintah pusat. Urusan rumah tangga
daerah tidak diperinci secara nominatif di dalam undang-undang pembentukannya,
tetapi ditemukan dalam suatu rumusan umum. Rumusan umum hanya mengandung
prinsip-prinsipnya saja, sedangkan pengaturan lebih lanjut diserahkan kepada
prakarsa daerah yang bersangkutan. Walaupun keleluasaan pemerintah daerah
dalam sistem rumah tangga formil lebih besar, tetapi ada pembatasan, yaitu :
1.
pemerintah daerah hanya boleh mengatur urusan
sepanjang urusan itu tidak atau belum diatur dengan undang-undang atau
peraturan daerah yang lebih tinggi tingkatannya.
2.
Bila negara atau daerah yang lebih tinggi tingkatnya
kemudian mengatur sesuatu yang semula diatur oleh daerah yang lebih rendah,
peraturan daerah yang lebih rendah tersebut dinyatakan tidak berlaku.
b.
Ajaran Materiil
Dalam ajaran rumah tangga materiil (materiele
huishoudingsleer), antara pemerintah pusat dan daerah terdapat pembagian
tugas yang diperinci secara tegas di dalam peraturan perundang-undangan.
Kewenangan setiap daerah hanya meliputi tugas-tugas yang ditentukan satu per
satu secara nominatif.
Rasio dari pembagian tugas ini
didasarkan kepada suatu keyakinan bahwa ada perbedaan tugas yang azasi dalam
menjalankan pemerintahan dan memajukan kemakmuran serta kesejahteraan
masyarakat antara negara dan daerah otonom yang lebih kecil. Daerah otonom
sebagai masyarakat hukum yang lebih kecil mempunyai urusan sendiri yang secara
prinsipil berbeda dari negara sebagai kesatuan masyarakat hukum yang lebih
besar dan berada di atasnya. Negara dan daerah otonom masing-masing mempunyai
urusan sendiri yang spesifik.
c.
Ajaran Riil
Di dalam ajaran rumah tangga riil
dianut kebijaksanaan bahwa setiap undang-undang pembentukan daerah mencantumkan
beberapa urusan rumah tangga daerah yang dinyatakan sebagai modal pangkal
dengan disertai segala atributnya berupa kewenangan, personil, alat
perlengkapan, dan sumber pembiayaan. Dengan modal pangkal itu, daerah yang
bersangkutan mulai bekerja, dengan catatan bahwa setiap saat urusan-urusan
tersebut dapat ditambah sesuai dengan kesanggupan dan kemampuan daerah yang
bersangkutan.
Namun, dalam praktik hubungan
Pusat-Daerah di bidang kewenangan di negara kita, permasalahan yang dihadapi
Indonesia adalah tidak jelasnya pilihan yang dijatuhkan antara sentralisasi
atau desentralisasi yang lebih dominan agar supaya secara konsisten prinsip
tersebut dapat diterapkan. Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 beserta
penjelasannya yang menjadi landasan konstitusional bagi penyelenggaran
pemerintahan di daerah juga tidak memberikan petunjuk jelas azas mana yang
dipilih.
Pasang surut hubungan pusat dan
daerah telah menunjukkan dinamika. UU Nomor 5 Tahun 1974 thhentang Pokok-Pokok
Pemerintahan di Daerah, dianggap sangat sentralisitis (dalam arti serba pusat);
UU nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang lahir diawal reformasi
ini, justru dianggap pula lebih desentralistis, sehingga kesan yang terbangun
khususnya antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota hubungannya kurang
harmonis.
Bahkan UU No 22 tahun 1999 ini,
justru ambivalen, dalam arti di satu sisi UUD RI 1945 menganut
sistem pemerintahan presidential, sedangkan dalam UU 22 itu bersifat
parlementer, dimana kepala daerah bertanggungjawab dalam penyelenggaraan
pemerintahannya kepada DPRD, dan apabila pertanggungjawabannya ditolak oleh
DPRD, harus diperbaiki, namun setelah diperbaiki masih ditolak dapat berakibat
pada pemberhentian kepala daerah. Perubahan mendasar pada kewenangan daerah
otonom dalam pemberian yang sangat besar dalam proses dan pengambilan
keputusan,
2.
Bidang Kelembagaan
Organisasi
pada dasarnya adalah wadah sekaligus sistem kerjasama orang-orang untuk
mencapai tujuan. Pada organisasi pemerintah, kegiatan yang dijalankan untuk
mencapai tujuan didasarkan pada kewenangan yang dimilikinya. Organisasi
pemerintah daerah di Indonesia pada masa lalu disusun dengan dasar perhitungan
:
a.
adanya kewenangan pangkal yang diberikan kepada daerah
melalui undang-undang pembentukan daerah otonom;
b.
adanya tambahan penyerahan urusan berdasarkan
pandangan pemerintah pusat;
c.
adanya pemberian dana/anggaran yang diikuti dengan
pembentukan organisasi untuk menjalankan urusan dan menggunakan dana (prinsipFunction
Follow Money).
Menurut
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pembentukan
organisasi pemerintah daerah untuk menjalankan urusan/kewenangan didasarkan
pada prinsip money follow function (pendanaan mengikuti fungsi
pemerintahan yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab masing-masing tingkat
pemerintahan). Bentuk dan susunan organisasi pemerintah daerah menurut
undang-undang tersebut didasarkan pada kewenangan pemerintahan yang dimiliki
daerah; karakteristik, potensi dan kebutuhan daerah; kemampuan keuangan daerah;
ketersediaan sumber daya aparatur; pengembangan pola kerjasama antar daerah
dan/atau dengan pihak ketiga. Sebagai penjabaran lebih lanjut dari ketentuan
tersebut antara lain dapat kita lihat pada Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun
2007.
B. Hubungan
Pusat-Daerah Bidang Kelembagaan Menurut Peraturan
Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007
Dengan perubahan terminologi
pembagian urusan pemerintah yang bersifat konkuren berdasarkan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004, maka dalam implementasi kelembagaan setidaknya terwadahi
fungsi-fungsi pemerintahan pada masing-masing tingkatan pemerintahan.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41
Tahun 2007, ditegaskan bahwa dasar utama penyusunan perangkat daerah dalam
bentuk suatu organisasi adalah adanya urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah, yang terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan, namun
tidak berarti bahwa setiap penanganan urusan pemerintahan harus dibentuk ke
dalam organisasi tersendiri. Besaran organisasi perangkat daerah
sekurang-kurangnya mempertimbangkan faktor keuangan, kebutuhan daerah, cakupan
tugas yang meliputi sasaran tugas yang harus diwujudkan, jenis dan banyaknya
tugas, luas wilayah kerja dan kondisi geografis, jumlah dan kepadatan penduduk,
potensi daerah yang bertalian dengan urusan yang akan ditangani, sarana dan
prasarana penunjang tugas. Oleh karena itu kebutuhan akan organisasi perangkat
daerah bagi masing-masing daerah tidak senantiasa sama atau seragam. Kriteria
untuk menentukan jumlah besaran organisasi perangkat daerah masing-masing
pemerintah daerah dengan variabel jumlah penduduk, luas wilayah dan jumlah
APBD, yang kemudian ditetapkan pembobotan masing-masing variabel yaitu 40%
(empat puluh persen) untuk variabel jumlah penduduk, 35% (tiga puluh lima
persen) untuk variabel luas wilayah dan 25% (dua puluh lima persen) untuk
variabel jumlah APBD.
C. Susunan
Organisasi Perangkat Daerah Provinsi
Susunan Organisasi Perangkat Daerah
Provinsi terdiri dari :
1. Sekretariat
Daerah dan Sekretariat DPRD
a.
Sekretariat daerah terdiri dari asisten, dan
masing-masing asisten terdiri dari paling banyak 3 (tiga) biro, dan
masing-masing biro terdiri dari paling banyak 4 (empat) bagian, dan
masing-masing bagian terdiri dari paling banyak 3 (tiga) subbagian.
b.
Sekretariat DPRD terdiri dari paling banyak 4 (empat)
bagian, dan masing-masing bagian terdiri dari paling banyak 3 (tiga) subbagian.
2. Dinas Daerah
a.
Dinas terdiri dari 1 (satu) sekretariat dan paling
banyak 4 (empat) bidang, sekretariat terdiri dari 3 (tiga) subbagian, dan
masing-masing bidang terdiri dari paling banyak 3 (tiga) seksi.
b.
Unit pelaksana teknis pada dinas terdiri dari 1 (satu)
subbagian tata usaha dan kelompok jabatan fungsional.
c.
Unit pelaksana teknis dinas yang belum terdapat
jabatan fungsional dapat dibentuk paling banyak 2 (dua) seksi.
3. Lembaga
Teknis Daerah
a.
Inspektorat terdiri dari 1 (satu) sekretariat dan
paling banyak 4 (empat) inspektur pembantu, sekretariat terdiri dari 3 (tiga)
subbagian, serta kelompok jabatan fungsional.
D. Susunan
Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten/Kota
Susunan Organisasi Perangkat Daerah
Kabupaten/Kota terdiri dari :
1. Sekretariat
Daerah dan Sekretariat DPRD
a. Sekretariat
daerah terdiri dari asisten, masing-masing asisten terdiri dari paling banyak 4
(empat) bagian, dan masing-masing bagian terdiri dari paling banyak 3 (tiga)
subbagian.
b. Sekretariat
DPRD terdiri dari paling banyak 4 (empat) bagian, dan masing-masing bagian
terdiri dari 3 (tiga) subbagian.
2. Dinas Daerah
a. Dinas
terdiri dari 1 (satu) sekretariat dan paling banyak 4 (empat) bidang,
sekretariat terdiri dari 3 (tiga) subbagian, dan masing-masing bidang terdiri
dari paling banyak 3 (tiga) seksi.
b. Unit
pelaksana teknis pada dinas terdiri dari 1 (satu) subbagian tata usaha dan
kelompok jabatan fungsional.
3. Lembaga
Teknis Daerah
a. Inspektorat
terdiri dari 1 (satu) sekretariat dan paling banyak 4 (empat) inspektur
pembantu, sekretariat terdiri dari 3 (tiga) subbagian, serta kelompok jabatan
fungsional.
b. Badan
terdiri dari 1 (satu) sekretariat dan paling banyak 4 (empat) bidang,
sekretariat terdiri dari 3 (tiga) subbagian, dan masing-masing bidang terdiri
dari 2 (dua) subbidang atau kelompok jabatan fungsional.
4. Bidang
Keuangan
Dalam
pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah daerah harus mempunyai sumber-sumber
keuangan yang memadai untuk membiayai penyelenggaraan otonominya. Kapasitas
keuangan pemerintah daerah akan menentukan kemampuan pemerintah daerah dalam
menjalankan fungsi-fungsinya seperti melaksanakan fungsi pelayanan masyarakat (public
service function), melaksanakan fungsi pembangunan (development function)
dan perlindungan masyarakat (protective function). Rendahnya kemampuan
keuangan daerah akan menimbulkan siklus efek negatif antara lain rendahnya
tingkat pelayanan masyarakat yang pada gilirannya akan mengundang campur tangan
pusat atau bahkan dalam bentuk ekstrim menyebabkan dialihkannya sebagian fungsi-fungsi
pemerintah daerah ke tingkat pemerintahan yang lebih atas ataupun kepada
instansi vertikal (unit dekonsentrasi). Kemampuan keuangan daerah ditentukan
oleh ketersediaan sumber-sumber pajak (tax objects) dan tingkat hasil (buoyancy)
dari objek tersebut. Tingkat hasil pajak ditentukan oleh sejauhmana
sumber pajak (tax bases) responsif terhadap kekuatan-kekuatan yang
mempengaruhi objek pengeluaran, seperti inflasi, pertambahan penduduk dan
pertumbuhan ekonomi yang pada gilirannya akan berkorelasi dengan tingkat
pelayanan baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Di samping itu,
sumber-sumber pendapatan potensial yang dimiliki oleh daerah akan menentukan
tingkat kemampuan keuangannya. Setiap daerah mempunyai potensi pendapatan yang
berbeda karena perbedaan kondisi ekonomi,sumber daya alam, besaran wilayah,
tingkat pengangguran, dan besaran penduduk
Dalam
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan
Pemerintahan Daerah ditegaskan bahwa penerimaan Daerah dalam pelaksanaan
Desentralisasi terdiri atas Pendapatan Daerah dan Pembiayaan. Pendapatan Daerah
bersumber dari Pendapatan Asli Daerah; Dana Perimbangan; dan Lain-lain
Pendapatan.
E. Hubungan
Pusat-Daerah Bidang Pengawasan Menurut
UU No.32 Tahun 2004
1. Pembinaan
Pembinaan atas
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dilaksanakan oleh pemerintah meliputi:
1.
Koordinasi pemerintahan antar susunan pemerintahan
yang dilaksanakan secara berkala pada tingkat nasional, regional atau provinsi.
2.
Pemberian pedoman dan standar pelaksanaan urusan
pemerintahan.
Pemberian
pedoman dan standar dalam kaitan ini mencakup aspek perencanaan, pelaksanaan,
tata laksana, pendanaan, kualitas, pengendalian, dan pengawasan.
1.
Pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi
pelaksanaan urusan pemerintahan. Pemberian bimbingan, supervisi dan konsultasi
dilaksanakan secara berkala dan/atau sewaktu-waktu baik secara menyeluruh
kepada seluruh daerah maupun kepada daerah tertentu sesuai dengan kebutuhan.
2.
Pendidikan dan pelatihan. Pendidikan dan pelatihan
dilaksanakan secara berkala bagi kepala daerah atau wakil kepala daerah,
anggota DPRD, perangkat daerah, pegawai negeri sipil daerah, dan kepala desa.
3.
Perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan, dan
evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan yang dilaksanakan secara berkala
ataupun sewaktu-waktu dengan memperhatikan susunan pemerintahan.
2. Pengawasan
Pengawasan
atas penyelenggaraan pemerintahan daerah merupakan proses kegiatan yang
ditujukan untuk menjamin agar pemerintah daerah berjalan sesuai dengan rencana
dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengawasan yang
dilaksanakan oleh pemerintah terkait dengan penyelenggaraan urusan pemerintahan
terutama terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah. Dalam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ditegaskan bahwa pengawasan atas
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dilaksanakan oleh pemerintah meliputi
:
1.
Pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan di
daerah. Pengawasan ini dilaksanakan oleh aparat pengawas intern pemerintah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
2.
Pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan
kepala daerah. Dalam hal pengawasan terhadap rancangan peraturan daerah dan
peraturan daerah, pemerintah melakukan dengan 2 (dua) cara sebagai berikut:
3.
Pengawasan terhadap rancangan peraturan daerah, yaitu
terhadap rancangan peraturan daerah yang mengatur pajak daerah, retribusi
daerah, APBD,dan rencana umum tata ruang sebelum disahkan oleh kepala daerah
terlebih dahulu dievaluasi oleh menteri dalam negeri untuk rancangan peraturan
daerah provinsi dan oleh gubernur terhadap rancangan peraturan daerah
kabupaten/kota. Mekanisme ini dilakukan agar pengaturan tentang hal-hal
tersebut dapat mencapai daya guna dan hasil guna yang optimal
4.
Setiap peraturan daerah wajib disampaikan kepada
menteri dalam negeri untuk provinsi dan gubernur untuk kabupaten/kota untuk
memperoleh klarifikasi. Peraturan daerah yang bertentangan dengan kepentingan
umum dan peraturan yang lebih tinggi dapat dibatalkan sesuai dengan mekanisme
yang berlaku.
5.
Sebagai contoh, dalam rangka pengawasan, Perda tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah disampaikan kepada Pemerintah paling lambat
15 hari setelah Perda tersebut ditetapkan. Jika bertentangan dengan kepentingan
umum dan /atau peraturan perundangan yang lebih tinggi, Pemerintah dapat
membatalkan Perda tersebut, paling lambat sebulan setelah Perda tersebut
diterima.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hubungan pusat daerah sejatinya
adalah sebuah keniscayaan dari dibentuknya pemerintahan sebuah Negara. Namun
ironisnya Undang- undang yang dijadikan acuan pengelolaan pusat dan daerah
masih banyak kerancuan. Tentunya dengan ini tidak baik adanya. Karena
seharusnya antara pemerintah pusat dan daerah memiliki porsi masing-
masing baik dari bidang kelembagaan, kewenangan, keuangan dan pengawasan.
B. Saran
Mungkin inilah yang
diwacanakan pada penulisan ini meskipun penulisan ini jauh dari sempurna
minimal kita mengimplementasikan tulisan ini. Masih banyak kesalahan dari
penulisan kami, dan kami juga butuh saran/ kritikan agar bisa menjadi motivasi
untuk masa depan yang lebih baik daripada masa sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA